Sebuah foto resmi kegiatan Pemerintah Kabupaten Karawang baru-baru ini menampilkan acara dengan tajuk yang tidak biasa: “Istighosah Sughro dan Kick Off — 40 Hari Intensif Tahajud untuk Capaian PAD dalam APBD 2026.”
Momentum religius itu diposisikan sebagai langkah awal meraih pendapatan asli daerah (PAD). Pertanyaannya sederhana namun krusial: sejak kapan problem fiskal daerah dipecahkan dengan ritual, bukan kebijakan?

Karawang adalah pusat industri terbesar di Jawa Barat, sekaligus lumbung pangan nasional. Dengan modal sebesar itu, publik wajar bertanya-tanya: mengapa pemerintah daerah justru terlihat mengandalkan pendekatan simbolik ketika kinerja fiskal sedang mandek?

Persoalan struktural Karawang sudah lama diketahui. Kebocoran PAD terus terjadi. BUMD bertahun-tahun gagal menjadi mesin pendapatan. Perizinan berbelit masih menghantui pelaku usaha. Investasi berjalan tanpa arah jelas. Sektor UMKM dan pertanian tersisih dari prioritas. Sementara pungutan liar tetap tumbuh subur. Semua ini bukan rahasia.

Namun alih-alih melakukan reformasi tata kelola, memperkuat institusi, atau merumuskan strategi ekonomi yang konkret, pemerintah daerah malah memilih panggung religius sebagai jawaban.
Ini bukan persoalan keimanan. Ini soal cara berpikir dalam mengelola negara. Ketika masalah ekonomi direspons dengan seremoni spiritual, itu menunjukkan keberanian politik yang absen dan kegagalan membaca akar persoalan.

Ritual keagamaan seolah dijadikan substitusi atas kerja birokrasi. Doa dijadikan pagar moral untuk menutupi mandegnya pembenahan, seakan-akan problema fiskal bisa selesai tanpa membereskan kebijakan rente yang sudah lama bercokol.

Karawang tidak kekurangan masjid, ulama, maupun majelis doa. Yang kurang justru keberanian birokrasi membuka data, menertibkan kebocoran, dan membangun mekanisme pengawasan yang efektif.

Jika orientasi simbolik ini dipertahankan, Karawang hanya akan dipenuhi agenda seremonial: banyak acara, tetapi PAD tetap bocor, tata kelola tetap buruk, dan masyarakat tetap menjadi objek pungutan.

Karawang berhak atas pemerintahan yang bekerja, bukan sekadar yang pandai beracara.
Ritual tidak boleh menjadi pengganti strategi. Publik membutuhkan tindakan korektif — bukan pertunjukan sakral.

Wahyudin
Divisi Advokasi Kebijakan Publik, LBH Cakra Indonesia

Komentar Ditutup! Anda tidak dapat mengirimkan komentar pada artikel ini.