CIREBON, AlexaNews.ID – Ajakan untuk menghadirkan pemberitaan yang lebih berpihak pada perempuan kembali digaungkan dalam rangkaian peringatan 16 HAKTP 2025. Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan DP3AKB Kota Cirebon, Weri S.Kep.Ns., menekankan pentingnya jurnalisme yang sensitif gender saat berbicara di hadapan jurnalis di Kantor DKIS, Jalan Brigjen Darsono, Selasa (9/12).
Dalam forum diskusi tersebut, Weri menilai media punya peran besar dalam membentuk cara pandang masyarakat. Karena itu, ia mendorong jurnalis untuk tidak hanya mengejar sisi heboh, tetapi juga memberikan ruang yang lebih ramah bagi perempuan dalam setiap pemberitaan.
“Jurnalisme kita perlu cara pandang baru. Media harus menjadi ruang aman bagi perempuan, bukan justru menambah stigma,” kata Weri.
Menurut Weri, perubahan paling mendasar terletak pada cara media membingkai kasus kekerasan terhadap perempuan. Ia menyebut pemberitaan seharusnya tidak lagi fokus pada unsur dramatis, melainkan pada gambaran masalah struktural serta penyelesaian kasus secara menyeluruh.
“Kalau ada kasus kekerasan, jangan sensasinya yang diangkat. Soroti latar belakang strukturnya dan bagaimana kasus itu bisa diselesaikan. Jangan biarkan perempuan terus menerima label buruk,” ujarnya.
Ia menambahkan, pemberitaan yang baik harus mampu mendorong perubahan kebijakan dan perilaku publik. Media, kata Weri, memiliki kekuatan untuk menghilangkan stigma dengan menyajikan informasi yang manusiawi dan berimbang.
Selain soal framing, Weri juga mengkritisi efektivitas kebijakan yang diklaim ramah perempuan. Menurutnya, masih banyak korban kekerasan yang tidak melapor karena akses yang terbatas atau ketakutan terhadap proses yang rumit.
“Kasus kekerasan meningkat bukan berarti semua korban berani melapor. Ada yang tidak tahu harus ke mana, atau merasa prosesnya menyulitkan,” jelasnya. Ia menegaskan, masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah persoalan multidimensi yang menuntut kerja sama lintas sektor.
Weri menilai pemerintah, masyarakat sipil, jurnalis, dan jaringan pendamping harus berjalan bersama. “Ini bukan tugas satu lembaga saja. Semua pihak harus terlibat agar perubahan itu nyata,” katanya.
Pada bagian akhir, Weri menyoroti etika visual dalam pemberitaan. Ia meminta media untuk tidak menampilkan wajah korban kekerasan, termasuk dalam kondisi sudah diburamkan.
“Pemilihan gambar itu penting. Jangan menampilkan wajah korban. Gunakan ilustrasi saja. Foto real—even di-blur—bisa memicu trauma bagi penyintas lain,” tegasnya. Ia berharap media semakin berhati-hati agar pemberitaan tidak menambah luka baru bagi korban. [Kirno]










