Bogor, AlexaNews.ID– Kasus dugaan pelecehan seksual terhadap IN, seorang wartawati dari Kabar Daerah, resmi dilaporkan ke Polres Bogor pada Minggu, 16 Februari 2025. IN, didampingi sejumlah rekan jurnalis, mendatangi kantor kepolisian untuk melaporkan Kepala Desa Wargajaya, OT. Laporan tersebut terdaftar dengan nomor STTLLP/8/28/11/2025/SKT/RES BGR/POLDA JBR dan ditandatangani oleh penyidik Aiptu Haten N, SH.
Sebelumnya, upaya mediasi dilakukan di kediaman anggota DPRD Kabupaten Bogor, H. Ansori Setiawan, S.Pd., pada Sabtu, 15 Februari 2025. Namun, pertemuan tersebut justru berujung ricuh akibat kehadiran puluhan orang yang diduga merupakan pendukung OT. Situasi yang tidak kondusif membuat proses mediasi tidak menghasilkan solusi yang adil bagi korban.
Dalam mediasi yang juga dihadiri aparat kepolisian setempat, korban dan para jurnalis yang hadir mengaku mendapatkan intimidasi dari massa di lokasi. Saat proses klarifikasi, OT diminta menjelaskan dugaan pelecehan yang terjadi pada Rabu, 12 Februari 2025. Namun, ia terlihat berbelit-belit dalam menjawab pertanyaan. Situasi semakin tegang ketika OT tiba-tiba kejang dan pingsan, memperkeruh jalannya mediasi.
Di tengah tekanan yang meningkat, korban IN akhirnya diminta menandatangani surat perjanjian yang disusun oleh anak OT. Kejadian ini menimbulkan kekecewaan di kalangan jurnalis, yang menilai bahwa proses mediasi lebih menguntungkan terduga pelaku dibandingkan korban.
Merasa tidak mendapatkan keadilan dalam mediasi, IN akhirnya menempuh jalur hukum dengan melaporkan kasus ini ke Polres Bogor. Pemeriksaan terhadap dirinya berlangsung hingga Minggu dini hari.
Keputusan IN melapor mendapat dukungan luas dari komunitas pers dan organisasi jurnalis. Ketua Ikatan Wartawan Online (IWO) Bogor Raya, Brodin, menegaskan bahwa kasus ini harus menjadi perhatian serius bagi penegak hukum.
“Kami mendukung penuh langkah hukum yang diambil rekan kami. Kasus ini harus menjadi contoh bahwa tidak ada toleransi bagi siapapun yang melakukan pelecehan terhadap jurnalis,” ujar Brodin.
Kasus ini tidak hanya menyoroti dugaan pelecehan seksual, tetapi juga pentingnya perlindungan bagi jurnalis, terutama perempuan, dalam menjalankan tugasnya. Intimidasi yang terjadi selama mediasi menunjukkan masih adanya upaya untuk membungkam kebebasan pers.
“Jika ada tekanan terhadap korban untuk menandatangani dokumen di luar kehendaknya, ini bisa dikategorikan sebagai tindakan melawan hukum,” tambah Brodin.
Kini, publik menanti langkah kepolisian dalam menangani kasus ini. Apakah proses hukum akan berjalan transparan dan memberikan keadilan bagi korban, atau justru menghadapi berbagai hambatan? Masyarakat dan komunitas pers berharap agar kasus ini menjadi momentum untuk memperkuat perlindungan terhadap jurnalis di Indonesia. (Ega Nugraha)