Bekasi, AlexaNews.ID – Isu besarnya tunjangan anggota DPRD kembali menjadi sorotan publik. Kali ini, Mahasiswa dan Pemuda Bekasi (Mahamuda Bekasi) menuding DPRD Kota maupun Kabupaten Bekasi hidup mewah dengan fasilitas dari APBD, sementara masyarakat masih bergulat dengan berbagai persoalan dasar.

Mengacu pada Peraturan Wali Kota (Perwal) Bekasi Nomor 61 Tahun 2017, DPRD Kota Bekasi awalnya mendapat tunjangan rumah sebesar Rp18 juta untuk Ketua, Rp16 juta bagi Wakil, dan Rp15 juta untuk setiap anggota per bulan. Namun, setelah beberapa kali revisi, Perwal Nomor 81 Tahun 2021 mengerek angka itu menjadi Rp53 juta untuk Ketua, Rp49 juta untuk Wakil, dan Rp46 juta untuk Anggota.

Dengan total 50 anggota dewan, alokasi anggaran hanya untuk tunjangan rumah sudah mencapai Rp2,316 miliar per bulan. Jika ditarik ke setahun, jumlahnya menembus Rp27,8 miliar.

Kondisi serupa juga terjadi di DPRD Kabupaten Bekasi. Berdasarkan Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 127 Tahun 2020, Ketua DPRD menerima Rp30,55 juta per bulan, Wakil Rp30 juta, dan Anggota Rp29,5 juta. Dua tahun kemudian, angka itu melonjak melalui Perbup 196 Tahun 2022 hingga mencapai Rp42,8 juta untuk Ketua dan Rp41,8 juta bagi Anggota. Meski sedikit turun lewat Perbup 11 Tahun 2024, nilainya masih terbilang tinggi dengan kisaran Rp36 juta–Rp41 juta per bulan.

Tak berhenti di situ, DPRD Kabupaten Bekasi juga memperoleh tunjangan transportasi: Rp21,2 juta untuk Ketua, serta Rp17,3 juta bagi Wakil dan Anggota setiap bulan. Jika ditotal, beban APBD untuk dua jenis tunjangan itu mencapai Rp2,69 miliar per bulan atau sekitar Rp32,3 miliar per tahun.

Padahal, sesuai PP Nomor 18 Tahun 2017, anggota DPRD sudah dibekali sederet fasilitas lain seperti uang representasi, tunjangan jabatan, tunjangan keluarga, komunikasi intensif, reses, hingga jaminan kesehatan. Bahkan pimpinan dewan masih menikmati dana operasional yang nilainya berkali lipat dari uang representasi Ketua DPRD.

“Ironis sekali. Warga Kota Bekasi masih terjebak banjir dan macet, sementara di Kabupaten Bekasi banyak desa yang jalannya rusak dan sekolah roboh. Namun wakil rakyatnya bisa santai dengan tunjangan rumah miliaran rupiah,” kata Jaelani Nurseha, aktivis Mahamuda Bekasi sekaligus mantan Ketua BEM Teknik Universitas Pelita Bangsa, Minggu (7/9/2025).

Menurutnya, regulasi yang kerap diterbitkan hanya jadi alat untuk menjustifikasi kenaikan tunjangan. “Hampir tiap dua tahun ada Perwal atau Perbup baru, tapi bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan menambah kenyamanan DPRD. Ini praktik pembajakan APBD secara legal,” tegas Jaelani.

Mahamuda Bekasi menilai, dana puluhan miliar rupiah itu seharusnya bisa dialokasikan untuk pembangunan sekolah, perbaikan fasilitas kesehatan, atau peningkatan infrastruktur desa. “Satu anggota DPRD dengan tunjangan Rp40 juta per bulan setara biaya merehab tiga ruang kelas. Kalau dikalikan semua anggota, bisa membangun sekolah baru tiap tahun,” ujarnya.

Selain tunjangan, Mahamuda juga menyoroti perjalanan dinas DPRD yang kerap dianggap hanya sebagai ajang plesiran. “Mereka bisa jalan-jalan ke luar negeri, sementara masyarakat masih antre di Puskesmas yang serba terbatas. Ini bentuk ketidakadilan yang nyata,” tambah Jaelani.

Sebagai penutup, Mahamuda Bekasi mendesak DPRD Kota dan Kabupaten Bekasi untuk segera memangkas tunjangan yang dianggap berlebihan. “Jika suara ini diabaikan, jangan salahkan rakyat bila turun ke jalan. Kami siap berdiri di barisan depan,” tandasnya. [Wnd]

Komentar Ditutup! Anda tidak dapat mengirimkan komentar pada artikel ini.