Karawang, AlexaNews.ID – Rencana penerapan larangan truk over dimension over loading (ODOL) di Jawa Barat pada 2 Januari 2026 yang diumumkan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menuai kontroversi di kalangan masyarakat. Meski bertujuan untuk menjaga kondisi jalan raya dan menekan angka kecelakaan, kebijakan ini justru dianggap tidak berpihak kepada rakyat kecil.
Sejak kebijakan itu disampaikan, kolom komentar di media sosial ramai dengan berbagai reaksi warganet. Banyak pengguna menilai kebijakan tersebut akan berdampak pada roda ekonomi masyarakat menengah ke bawah, terutama para sopir dan buruh angkutan yang menggantungkan hidup dari sektor transportasi barang.
“Dasar gak mikir panjang, pikirin perut rakyat dulu. Kalau mau larang ODOL, siapkan dulu lapangan kerja buat yang kena dampak,” tulis salah satu pengguna akun TikTok di kolom komentar @opiniplus.com. Komentar lainnya juga menyoroti dampak terhadap harga bahan pokok. “Yang kena dampaknya pasti masyarakat kecil seperti saya. Siap-siap aja bahan pokok naik karena distribusi terganggu,” tulis akun lain.
Menanggapi ramai kritik tersebut, Pengamat Kebijakan Publik yang juga Ketua DPC PERADI Karawang, Asep Agustian, SH., MH., menilai kebijakan itu justru berpotensi mematikan ekonomi rakyat kecil. Menurutnya, langkah yang diambil Dedi Mulyadi terkesan terburu-buru dan tidak memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat.
“Saya pikir ini kebijakan yang aneh. Truk ODOL juga bayar pajak, dan jalan yang mereka lalui dibangun dari uang rakyat. Jadi kenapa harus dilarang? Banyak kebijakan Dedi Mulyadi yang aneh. Saya bilang, makin ke sini makin ke sana,” ujar Asep Agustian dengan nada satir saat diwawancarai Opiniplus.com, Sabtu (1/11/2025).
Asep yang akrab disapa Askun itu juga menduga larangan ODOL ini tidak melalui kajian mendalam dan tidak melibatkan pihak legislatif maupun dinas terkait di lingkungan Pemprov Jawa Barat. Ia menilai kebijakan tersebut lebih merupakan hasil pemikiran pribadi gubernur daripada keputusan yang lahir dari kajian komprehensif.
“Saya rasa ini kebijakan spontan, seperti sebelumnya saat melarang study tour sekolah yang akhirnya membuat pelaku usaha wisata merugi. Begitulah gaya kepemimpinan KDM, terlalu otoriter dan merasa semua kebijakan pasti disetujui masyarakat,” ujarnya.
Askun menambahkan, jika tujuannya untuk mengurangi kerusakan jalan dan angka kecelakaan, maka langkah yang lebih logis adalah membatasi jam operasional truk ODOL, bukan melarang total. Menurutnya, pemerintah bisa mengatur agar truk bertonase berat hanya beroperasi pada jam tertentu, misalnya mulai pukul 17.00 WIB hingga 03.00 WIB, serta melarang operasional pada hari libur.
“Cukup perketat pengawasan melalui Dinas Perhubungan, bukan melarang semua truk ODOL. Mereka juga bayar pajak dan punya hak di jalan umum. Sopir pun sebenarnya tidak mau mengangkut muatan berlebih karena risikonya tinggi. Mereka hanya menjalankan perintah perusahaan,” jelasnya.
Ia menegaskan, pelarangan ODOL secara total akan memberi dampak domino pada sektor ekonomi masyarakat bawah. Selain mengganggu arus distribusi logistik, kebijakan tersebut berpotensi meningkatkan harga kebutuhan pokok di pasaran.
Askun pun mendesak agar Dedi Mulyadi meninjau ulang kebijakan itu sebelum diberlakukan. Ia khawatir, jika aturan ini dipaksakan tanpa solusi konkret, gelombang protes besar dari para sopir dan pekerja angkutan akan kembali terjadi di depan Gedung Sate.
“Saya yakin kalau ini tetap dijalankan tanpa pertimbangan matang, akan ada aksi demonstrasi lagi. Karena ini menyangkut hajat hidup rakyat kecil,” pungkasnya. [King]










