Bekasi, AlexaNews.ID – Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyambut positif penerapan pidana kerja sosial bagi pelaku tindak pidana ringan. Menurutnya, kebijakan ini tidak hanya bernilai kemanusiaan, tetapi juga memberikan dampak nyata terhadap efisiensi anggaran negara dan peningkatan produktivitas masyarakat.
Pernyataan tersebut disampaikan Dedi saat menghadiri penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) dan Perjanjian Kerja Sama antara Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat serta Pemerintah Kabupaten/Kota se-Jawa Barat. Acara berlangsung di Gedung Swatantra Wibawa Mukti, Komplek Pemkab Bekasi, Cikarang Pusat, Selasa (4/11/2025).
Pada kegiatan itu, Dedi bersama para Bupati dan Wali Kota se-Jawa Barat menandatangani kerja sama dengan Kejari di wilayah masing-masing. Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang turut hadir sebagai tuan rumah kegiatan tersebut.
Menurut Dedi, penerapan pidana kerja sosial bisa menghemat biaya negara karena tidak perlu menanggung kebutuhan napi di penjara seperti makan, pengawasan, dan fasilitas lainnya. “Uang negara bisa terselamatkan, karena selama ini biaya pemeliharaan narapidana cukup besar sementara hasilnya tidak produktif,” ujarnya.
Ia menambahkan, sistem ini justru menghadirkan manfaat sosial. Pelaku bisa berkontribusi langsung melalui kegiatan pembersihan sungai, perawatan jalan, atau kerja sosial lainnya. “Bayangkan kalau mereka dikerahkan untuk membersihkan sampah di bantaran sungai atau memperbaiki drainase, pasti manfaatnya langsung dirasakan warga,” ucap Dedi.
Dedi menilai program ini juga berdampak positif terhadap keluarga pelaku karena mereka tetap bisa bekerja dan menafkahi keluarganya. “Kalau dipenjara, keluarga ikut terbebani. Tapi kalau kerja sosial, produktivitas tetap berjalan dan tidak muncul kemiskinan baru,” katanya.
Lebih lanjut, Dedi menegaskan bahwa hukuman penjara bagi pelaku kejahatan ringan sudah tidak relevan dengan semangat hukum modern yang menekankan keadilan restoratif. “Itu warisan kolonial. KUHP baru harus lebih berorientasi pada pemulihan sosial, bukan sekadar pembalasan,” tegasnya.
Sementara itu, Jaksa Agung Muda Pidana Umum Prof. Asep Nana Mulyana menjelaskan bahwa pidana kerja sosial menjadi bagian dari implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP Nasional yang akan berlaku mulai Januari 2026. “Pendekatan baru ini memungkinkan pelaku pidana ringan tetap berkontribusi di masyarakat tanpa harus menjalani hukuman penjara,” jelasnya.
Prof. Asep menuturkan, Jawa Barat menjadi provinsi pertama yang menyiapkan pelaksanaan konkret program tersebut melalui kerja sama lintas lembaga. Ia menambahkan bahwa pidana kerja sosial hanya berlaku untuk tindak pidana dengan ancaman di bawah lima tahun. “Fokusnya pada perkara ringan, sesuai pedoman Kejaksaan tahun 2005 tentang kerja sosial,” katanya.
Adapun jenis pekerjaan sosial disesuaikan dengan kondisi pelaku dan kebutuhan daerah. “Ada yang membantu di Dinas Sosial, Dinas Perhubungan, atau membersihkan fasilitas umum. Prinsipnya tidak mengganggu mata pencaharian utama mereka,” tutur Asep.
Selain itu, Kejaksaan Tinggi Jabar juga menyiapkan pelatihan keterampilan bagi para pelaku agar memiliki kemampuan baru setelah menjalani masa hukuman sosial. “Kami bekerja sama dengan lembaga seperti Jamkrindo untuk pelatihan usaha kecil seperti laundry atau pembuatan sepatu,” tambahnya.
Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Hermon Dekristo menegaskan, kerja sama ini menjadi landasan hukum bagi pelaksanaan pidana kerja sosial di seluruh daerah di Jawa Barat. “Perjanjian ini menjadi langkah awal agar penerapan program berjalan seragam dan tepat sasaran di kabupaten/kota,” katanya.
Hermon menilai, pidana kerja sosial tidak hanya mengedepankan sisi hukum, tetapi juga sebagai upaya pemberdayaan. “Kita ingin pelaku kembali ke masyarakat dengan semangat baru, menjadi pribadi yang lebih baik dan berguna,” pungkasnya. [Wnd]









