Karawang, AlexaNews.ID – Kuasa hukum para pemohon uji materi terhadap Keputusan Bupati Karawang Nomor 973/Kep.502-Huk/2018 tentang Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), Andhika Kharisma, SH., CPL, menegaskan bahwa arah proses hukum yang kini bergulir ke Mahkamah Agung sudah tepat secara konstitusional. Karena itu, ia meminta semua pihak, termasuk pengamat hukum, tidak membuat pernyataan menyesatkan ke publik.
“Jangan asal bicara tanpa memahami persoalan hukumnya secara utuh. Kami menilai ada opini yang sengaja dibangun seolah-olah permohonan hak uji materi yang kami ajukan ke Mahkamah Agung salah kamar. Itu tidak benar,” tegas Andhika.
Sebelumnya, direktur pusat studi konstituasi dan kebijakan (Pustaka) hukum menilai bahwa SK Bupati harusnya digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bukan melalui Mahkamah Agung. Namun pernyataan tersebut langsung diluruskan oleh Andhika. Ia menjelaskan bahwa SK Bupati yang dipersoalkan tidak bisa dipandang sebagai keputusan bersifat individual (beschikking), melainkan peraturan (regeling) karena berlaku umum untuk seluruh wajib pajak di Karawang.
“Silakan pelajari dulu perbedaan antara keputusan dan peraturan. Jika suatu produk hukum mengikat banyak orang dan berlaku umum, maka secara hukum itu masuk kategori peraturan. Dan peraturan itulah yang menjadi objek hak uji materi di Mahkamah Agung,” jelasnya.
Menurutnya, doktrin para ahli hukum juga sejalan dengan hal tersebut. Ia mengutip pandangan Prof. Jimly Asshiddiqie dan Maria Farida Indrati, yang sama-sama menjelaskan bahwa putusan yang berlaku umum termasuk kategori peraturan perundang-undangan, meskipun judulnya keputusan.
Andhika juga menegaskan bahwa pernyataan yang menyebut perkara ini harus diajukan ke PTUN juga tidak masuk akal dari segi prosedur hukum. Sebab, gugatan PTUN memiliki batas waktu 90 hari sejak keputusan diterbitkan, sementara SK Bupati tersebut dikeluarkan pada tahun 2021. Artinya, jika menggunakan jalur PTUN maka secara hukum sudah gugur karena kedaluwarsa.
“Kalau digugat ke PTUN sekarang jelas ditolak formil karena sudah lewat batas waktu. Berbeda dengan hak uji materiil di Mahkamah Agung yang tidak dibatasi waktu selama peraturan itu masih berlaku dan merugikan warga negara,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia mengingatkan agar perdebatan ini tidak dicampur dengan opini liar tanpa dasar akademik dan hukum yang kuat. “Kalau mau berpendapat silakan, tapi jangan menyesatkan publik. Pisahkan dulu definisi keputusan dan peraturan. Kalau sudah paham, maka jelas ini ranah Mahkamah Agung, bukan PTUN,” tegasnya menutup. [Karina]