Alokasi anggaran aspirasi atau pokok pikiran (pokir) yang jauh lebih besar kepada pimpinan dan wakil pimpinan DPRD Purwakarta patut menjadi perhatian serius publik. Instrumen yang sejatinya dirancang sebagai saluran aspirasi rakyat ini justru menimbulkan tanda tanya besar ketika distribusinya menunjukkan ketimpangan yang mencolok di internal lembaga legislatif.

Pokir semestinya menjadi medium kolektif untuk menerjemahkan kebutuhan masyarakat di daerah pemilihan. Namun, dalam praktiknya, mekanisme ini tampak bertransformasi menjadi alat konsolidasi kekuasaan di lingkar elite parlemen. Ketika porsi terbesar terkonsentrasi pada posisi struktural tertentu, sulit menghindari dugaan bahwa pertimbangan objektif kebutuhan daerah telah bergeser oleh kepentingan politik.

Ketimpangan tersebut tidak bisa dibaca semata sebagai hasil perbedaan beban kerja atau skala wilayah. Ia mengindikasikan potensi permufakatan kepentingan antara legislatif dan eksekutif. Dalam skema seperti ini, pokir berisiko dijadikan “imbalan politik” untuk meredam fungsi pengawasan DPRD terhadap jalannya pemerintahan daerah. Fungsi kontrol yang seharusnya tajam justru tumpul oleh kompromi anggaran.

Jika pimpinan dan wakil pimpinan DPRD menerima porsi pokir paling besar dibandingkan anggota lainnya, pertanyaan publik menjadi sahih: apakah ini buah dari musyawarah kelembagaan yang sehat, ataukah hasil transaksi kekuasaan yang dibungkus prosedur formal? Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci untuk menjawab keraguan tersebut.

Distribusi yang tidak adil ini pada akhirnya melemahkan fungsi legislatif dari dalam. Anggota dewan di luar lingkar pimpinan berpotensi kehilangan daya tawar, bahkan keberanian politik untuk bersikap kritis terhadap eksekutif. Ketika kritik dibungkam secara halus melalui ketergantungan anggaran, maka demokrasi lokal berada dalam posisi rentan.

Lebih jauh, dominasi pokir oleh segelintir elite mencederai asas keadilan dan kolektivitas lembaga. DPRD bukan milik beberapa orang, melainkan representasi rakyat secara keseluruhan. Saat anggaran aspirasi menumpuk pada posisi tertentu, aspirasi warga yang diwakili anggota lainnya secara otomatis terpinggirkan.

Situasi ini memperlihatkan bagaimana mekanisme anggaran publik dapat ditunggangi oleh kepentingan kelompok. Pokir tidak lagi berbicara tentang kebutuhan masyarakat, melainkan tentang siapa yang paling dekat dengan pusat pengambilan keputusan. Jika praktik semacam ini dibiarkan, DPRD berisiko kehilangan legitimasi moral di mata publik.

Lembaga yang seharusnya menjadi penjaga keseimbangan kekuasaan justru terjerat dalam pusaran kompromi politik yang mengorbankan keadilan, transparansi, dan kepentingan rakyat. Sudah saatnya publik menuntut penataan ulang mekanisme pokir agar kembali pada khitahnya: sebagai alat perjuangan aspirasi warga, bukan instrumen transaksi kekuasaan.

Penulis: Faraz Husaeni, aktivis muda Permata

Komentar Ditutup! Anda tidak dapat mengirimkan komentar pada artikel ini.