AlexaNews

Bencana Abrasi Berulang, LBH CAKRA: Program Pemerintah Hanya Seremonial

Karawang, AlexaNews.ID — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) CAKRA Indonesia mengeluarkan pernyataan keras terkait lambannya respons dan minimnya perhatian Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Karawang terhadap warga pesisir pantai yang kembali menjadi korban abrasi. Kejadian ini, menurut LBH CAKRA, bukanlah peristiwa baru, melainkan bencana berulang yang hingga kini belum tertangani secara sistematis dan berkelanjutan.

Dalam wawancara eksklusif, Direktur Eksekutif LBH CAKRA Indonesia, Dadi Mulyadi, S.H., menyoroti ketidaksiapan pemerintah daerah dalam mengantisipasi dan menangani abrasi yang hampir setiap tahun melanda wilayah pesisir utara Karawang.

“Abrasi bukan kejadian yang tiba-tiba atau mengejutkan. Ini adalah siklus alam yang sudah bisa diprediksi oleh masyarakat pesisir. Sayangnya, yang mereka miliki hanya semangat bertahan hidup, sementara kemampuan dan dukungan dari pemerintah sangat minim,” tegas Dadi Mulyadi.

Menurutnya, upaya penanganan abrasi yang dilakukan Pemkab Karawang selama ini hanya bersifat insidentil dan tidak menyentuh akar permasalahan. Bantuan yang diberikan lebih banyak berupa logistik darurat saat bencana sudah terjadi, seperti makanan dan pakaian, tanpa ada program pembangunan jangka panjang yang konkret.

“Pemerintah seolah hanya hadir ketika bencana sudah terjadi, itu pun sebatas memberi bantuan makanan dan pakaian. Belum terlihat adanya program permanen seperti pembangunan pemecah ombak, penanaman mangrove, atau relokasi terencana. Semua masih berkutat di tataran wacana, atau bahkan asal-asalan,” tambahnya.

LBH CAKRA juga menilai bahwa orientasi program dan kultur kerja Pemkab Karawang perlu ‘naik level’. Menurut Dadi, pemerintah tidak bisa lagi bersikap kagetan atau baru bergerak setelah isu viral di media sosial.

“Pemkab harus lebih proaktif dan responsif. Warga pesisir adalah bagian tak terpisahkan dari masyarakat Karawang. Pemerintah wajib memikirkan bukan hanya kelangsungan hidup mereka, tetapi juga kualitas kehidupannya,” ujarnya.

Dadi juga menyinggung soal keadilan pembangunan yang timpang antara wilayah perkotaan dan pesisir. Ia menyoroti kasus pengalokasian dana CSR PT Jawa Satu Power yang digunakan untuk pembangunan jalan paving block di kawasan Tuparev—wilayah yang tidak terdampak abrasi, tetapi tetap mendapat prioritas pembangunan.

“Secara aturan mungkin tidak ada pelanggaran. Tapi ini menunjukkan betapa rendahnya empati Pemkab terhadap warga pesisir yang justru berada di garis depan menghadapi dampak perubahan iklim dan eksploitasi laut. Ini soal keadilan pembangunan,” tandasnya.

Menurut LBH CAKRA, seluruh pemangku kepentingan—mulai dari pemerintah, pelaku industri kelautan, hingga lembaga sosial—harus duduk bersama menyusun strategi jangka panjang untuk mitigasi bencana abrasi. Keterlibatan nelayan dan warga lokal juga sangat penting, karena mereka adalah garda terdepan yang paling terdampak sekaligus memiliki pengalaman langsung dengan kondisi alam pesisir.

“Tidak bisa lagi jalan sendiri-sendiri. Kita butuh sinergi antar-stakeholder, pendekatan ilmiah, dan komitmen politik dari pemerintah daerah untuk menjadikan penanganan abrasi sebagai prioritas pembangunan,” pungkas Dadi Mulyadi. [King]

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!