KARAWANG, AlexaNews.ID — Proyek pembangunan sabuk pantai di Kecamatan Pakisjaya dan jetty di Muara Sedari, Karawang, kembali jadi buah bibir. Dugaan keberadaan tenaga ahli fiktif kembali mencuat dan menyeret proyek milik Bidang SDA Dinas PUPR Karawang itu dalam sorotan publik.

Dua proyek tersebut dikerjakan dua perusahaan berbeda. Jetty Muara Sedari digarap CV Cakra Buana Utama dengan nilai kontrak sekitar Rp 2,4 miliar. Sementara sabuk pantai Pakisjaya dikerjakan CV Mazel Arnawama Indonesia dengan nilai Rp 903 juta.

Jetty direncanakan memiliki panjang 160 meter dengan tinggi 3,5 meter dan masa kerja 85 hari kalender. Adapun sabuk pantai Pakisjaya dibangun sepanjang 80 meter dengan spesifikasi tinggi 2,5 meter, lebar atas 2 meter, lebar bawah 9 meter, serta waktu pengerjaan 90 hari.

Praktisi hukum sekaligus pengamat kebijakan, Asep Agustian SH MH, mengatakan sejak awal dirinya sudah menduga proyek tersebut bakal bermasalah. Ia menilai pelaksana proyek tidak bekerja secara profesional dan diduga hanya meminjam bendera perusahaan lain.

“Dari awal saya bilang proyek ini tak mungkin selesai tepat waktu. Indikasinya jelas, kontraktornya diduga cuma pinjam bendera. Harusnya perusahaan punya data lengkap terkait konsultan dan tenaga ahli, bukan malah digantikan mandor yang ngaku wartawan,” kata Asep, Selasa (9/12/2025).

Menurut Asep, proyek-proyek Bidang SDA Dinas PUPR Karawang memang kerap menjadi sorotan. Ia menilai tidak ada hasil pembangunan yang benar-benar membanggakan dari bidang tersebut.

“Kerjaan Bidang SDA ini selalu jadi perhatian karena banyak masalah. Saya minta Pak Bupati segera mutasi Kabid SDA. Katanya sudah ajukan pengunduran diri, tapi kenapa masih dipertahankan?” ujarnya.

Asep menambahkan, progres akhir November yang baru mencapai sekitar 30% membuatnya yakin proyek tidak akan rampung 100% pada tenggat akhir Desember 2025. Jika pun dipaksakan selesai, ia meragukan kualitasnya.

“Saya minta teman-teman wartawan terus pantau kondisi lapangan,” tegasnya.

Ia juga menyoroti alasan mandor proyek jetty yang menyebut banjir rob menjadi penyebab keterlambatan pengerjaan. Menurutnya, alasan itu tidak relevan jika proyek benar-benar dikerjakan tenaga ahli profesional dan konsultan yang valid.

“Force majeure memang bisa jadi alasan keterlambatan. Tapi kalau tenaga ahli saja fiktif, ya bagaimana mau bicara force majeure?” ujar Asep.

Lebih jauh, Asep menyindir aparat penegak hukum (APH) yang dinilainya lambat merespons dugaan penyimpangan proyek. Ia menyebut APH kerap menunggu proyek selesai dulu sebelum melakukan penyelidikan.

“APH kok selalu diam. Apa salahnya menegur dari awal? Tujuannya agar pelaksanaan proyek tidak berujung pada tindak pidana korupsi. Kalau ada pembinaan sejak dini, kualitas pengerjaan bisa lebih baik dan masyarakat tidak dirugikan,” pungkasnya. [Ega]

Komentar Ditutup! Anda tidak dapat mengirimkan komentar pada artikel ini.