Karawang, AlexaNews.ID – Sidang lanjutan kasus dugaan pemalsuan tanda tangan oleh terdakwa Kusumayati di Pengadilan Negeri Karawang pada Rabu (28/8/2024), kembali menjadi sorotan.
Pada sidang kesepuluh ini, terdakwa menghadirkan saksi ahli agama dari pemuka agama Konghucu, meskipun para pihak terkait, baik terdakwa maupun korban, beragama Buddha.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Sukanda, menegaskan bahwa keterangan yang diberikan oleh saksi ahli tersebut tidak memiliki korelasi dengan perkara yang sedang disidangkan.
“Keterangan ahli dari pemuka agama Konghucu tadi sebenarnya tidak ada hubungannya dengan tindakan pidana yang dilakukan oleh terdakwa,” ujar Sukanda usai persidangan.
Menurut Sukanda, saksi ahli lebih banyak membahas tentang nasihat atau petuah dalam hubungan keluarga, khususnya antara ibu dan anak, berdasarkan ajaran agama Konghucu.
Padahal, kasus yang menjerat Kusumayati adalah perkara pidana pemalsuan tanda tangan, yang diancam dengan hukuman maksimal tujuh tahun penjara sesuai dengan Pasal 263 KUHP.
“Tadi sifatnya hanya menjelaskan bagaimana hubungan ibu dan anak dari sisi agama Konghucu, sedangkan para pihak dalam perkara ini, baik terdakwa maupun korban, beragama Buddha,” tambahnya.
Meskipun keterangan saksi ahli dianggap tidak relevan oleh JPU, majelis hakim tetap memberikan kesempatan kepada saksi ahli untuk menyampaikan pendapatnya berdasarkan pertanyaan yang diajukan oleh penasihat hukum terdakwa. Hal ini menunjukkan bahwa persidangan tetap berjalan sesuai prosedur meskipun ada perbedaan pandangan mengenai relevansi saksi ahli.
Sidang berikutnya dijadwalkan akan berlangsung pada Rabu (4/8/2024) dengan agenda pemeriksaan terdakwa Kusumayati, sebelum memasuki tahap sidang tuntutan.
“Untuk sidang minggu depan, agendanya adalah pemeriksaan terdakwa, dan jika ada tambahan alat bukti, boleh diajukan,” pungkas Sukanda.
Perlu diketahui, sebelumnya dalam persidangan, JPU pernah menghadirkan saksi ahli yang bernama Subandi. Namun, saksi tersebut tidak dapat memberikan kesaksian karena dianggap sebagai ahli perdata, bukan ahli pidana. Perbedaan perlakuan ini menambah dinamika dalam kasus yang semakin menarik perhatian publik. (King)