KARAWANG, AlexaNews.ID – Kasus kontroversial antara Wakil Bupati Karawang periode 2016-2021, Ahmad ‘Jimmy’ Zamakhsyari, dengan Dinas Sosial Kabupaten Karawang tahun itu kembali menjadi sorotan. Polemik tersebut berkaitan dengan anggaran bantuan sosial untuk anak yatim pada Tahun Anggaran (TA) 2017 melalui Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) atau yayasan Karawang Sejahtera sebesar Rp. 7,1 miliar.
Pada saat itu, Kang Jimmy menjadi pusat perhatian karena dugaan adanya pungutan 20 persen dari anggaran tersebut untuk biaya operasional, dengan nilai mencapai Rp 1,5 miliar. Selain itu, terdapat pula kutipan 10 persen yang dikhususkan untuk biaya pendampingan anak yatim piatu, dengan nilai mencapai Rp 758 juta.
Masyarakat Karawang pada waktu itu melaporkan kasus ini ke Kejaksaan Negeri Karawang, menciptakan kehebohan di lingkungan tersebut.
Anehnya, masalah ini kembali mencuat ke permukaan dengan laporan dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Karawang di situs web Karawangkab.go.id. Dalam Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 73 Tahun 2018, Yayasan atau LKSA Karawang Sejahtera kembali menerima bantuan belanja sosial sebesar Rp. 7 miliar, meskipun para pengurus yayasan dan LKSA tersebut tidak mengajukan proposal bantuan untuk TA 2018.
“Kejanggalan ini sungguh aneh. Setelah saya memeriksa, ternyata anggaran untuk YKS masih ada dengan alamat lama,” ungkap Danilaga, mantan pejabat Kepala Bidang Dayasos pada Dinas Sosial Karawang saat itu, yang saat ini menjabat sebagai Sekretaris Kecamatan Jatisari, dalam pesan WhatsApp kepada awak media yang dilansir oleh Spiritjawabarat.com pada Minggu (9/7/23).
Danilaga menjelaskan bahwa sejak tahun 2017, Yayasan Karawang Sejahtera (YKS) tidak lagi mengajukan proposal kepada Dinas Sosial Kabupaten Karawang. Ia juga mengaku kaget bahwa YKS kembali tercantum dalam Perbup 73 tahun 2018 sebagai penerima anggaran bantuan sosial sebesar Rp. 7 miliar dari Pemda Karawang.
Mamun Najid, Ketua LKSA Karawang Sejahtera, mengungkapkan hal yang sama dengan Danillaga. Ia juga mengaku tidak pernah mengajukan proposal bantuan untuk anggaran tahun 2018 setelah mengalami masalah pada pengajuan tahun anggaran 2017, yang mengakibatkan beberapa pengurus Yayasan dan LKSA Karawang Sejahtera dipanggil oleh Kejari Karawang.
Mamun juga menjelaskan bahwa LKSA yang dipimpinnya hanya mendapatkan setengah dari anggaran sebesar Rp. 7,1 miliar yang telah dialokasikan untuk LKSA tersebut pada TA 2017.
“Karena mengalami masalah dan ada pemanggilan oleh Kejari Karawang, Kepala Dinas Sosial saat itu (Setya Darma) menolak menandatangani berkas pencairan tahap II anggaran tahun 2017,” jelasnya.
Tidak hanya itu, Mamun juga mengungkapkan bahwa ia dan Ketua Yayasan Karawang Sejahtera pernah dipanggil oleh Polda Jawa Barat pada tahun 2021 terkait anggaran bantuan sosial tersebut.
“Kalau tidak salah, yang diajukan ke Polda itu pada tahun berapa ya? Tahun 2021 atau 2020 mungkin, sepertinya itu (TA 2018). Maaf, saya lupa, tahun 2021 atau 2020, setelah Pilkada saja kami dipanggil oleh Polda,” ungkapnya baru-baru ini.
Mamun menjelaskan bahwa saat itu, Ketua yayasan dan Ketua LKSA yang dipanggil oleh Polda Jawa Barat, bersama dengan Danillaga dari Dinsos Karawang (Kabid Dayasos saat itu), hanya dirinya sebagai Ketua LKSA Karawang Sejahtera dan Ketua yayasan Karawang Sejahtera yang dimasukkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
“Kami menjelaskan kepada Polda bahwa untuk TA 2017, kami (YKS) hanya mencairkan tahap pertama sebesar Rp. 3,5 miliar. Pencairan tahap kedua ditolak oleh Dinas Sosial sehingga tidak bisa dicairkan, dan kami tidak pernah mengajukan kembali proposal setelah TA 2017,” tambahnya.
Menanggapi kontroversi mengenai anggaran bantuan sosial anak yatim tersebut, Pengurus DPP Ormas GMPI, Sudar ‘Uday’ Sobarna, mengungkapkan keprihatinannya dan akan meminta penjelasan dari pihak terkait melalui audiensi atau komunikasi biasa.
“Kejadian ini sungguh aneh. Meski yayasan tersebut tidak mengajukan bantuan, mereka kembali menjadi penerima bantuan. Terlepas dari realisasi atau tidaknya anggaran tersebut, hal ini mengindikasikan adanya dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Terutama pada TA 2018, di mana pihak yayasan mengakui hanya mencairkan setengah dari alokasi bantuan tersebut. Ini harus dijelaskan,” tegas Uday. (Ahmad Yusup Tohiri)