Cirebon, AlexaNews.ID – Para petani di Kabupaten Cirebon kini dilanda keresahan. Tanah aset Pemerintah Daerah (Pemda) yang seharusnya dikelola untuk kepentingan pertanian justru diduga menjadi ajang bancakan sejumlah oknum. Di sisi lain, persoalan keterlambatan distribusi pupuk bersubsidi di wilayah Kecamatan Talun semakin memperburuk situasi menjelang musim tanam pertama (MT1).
Ketua Dewan Pakar Pertanian (DPP) Kabupaten Cirebon, Usman Effendi, mengungkapkan bahwa praktik sewa-menyewa tanah aset Pemda sudah berlangsung lama tanpa mekanisme yang jelas. Ia mencontohkan, di wilayah Kecamatan Susukan terdapat sekitar 10 hektar lahan sawah milik pemerintah daerah yang disewakan secara tidak transparan. “Banyak petani yang didatangi langsung oleh oknum untuk diminta menyewa lahan, tanpa ada penjelasan resmi dari pihak terkait,” ujarnya, Jumat (10/10/2025).
Usman menjelaskan, setiap tahun target pendapatan dari sewa lahan pertanian selalu berubah dan cenderung meningkat. Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon sebelumnya menargetkan Rp850 juta pada tahun 2024, dan naik menjadi Rp1,1 miliar di tahun 2025. Namun, data mengenai luas lahan yang disewakan justru mengalami penyusutan dari 217 hektar menjadi hanya 170 hektar. “Harga sewanya juga bervariasi, rata-rata sekitar Rp10 juta per hektar per tahun,” kata Usman.
Ia menambahkan, terdapat indikasi bahwa sebagian pendapatan daerah dari sewa lahan tersebut tidak masuk ke kas resmi. Diperkirakan sekitar 30 hektar lahan dikuasai oleh oknum tanpa membayar sewa, sehingga berpotensi menyebabkan kebocoran hingga Rp300 juta setiap tahunnya. “Ada banyak hal yang tidak sinkron, baik dari sisi data maupun tata kelola. Pemerintah harus berani melakukan audit agar tidak ada lahan produktif yang dikuasai secara ilegal,” tegasnya.
Usman menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan aset pertanian milik daerah. Menurutnya, data luas lahan yang simpang siur serta praktik sewa tanpa dasar hukum jelas harus segera ditertibkan agar tidak menimbulkan konflik antarpetani dan merugikan pendapatan daerah.
Selain soal lahan, Usman yang akrab disapa Abah Usman juga menyoroti masalah keterlambatan distribusi pupuk bersubsidi di Kecamatan Talun. Ia menjelaskan bahwa perubahan jadwal musim tanam (MT) dari MT2 ke MT3 menyebabkan petani mengajukan tambahan biaya ke Balai Penyuluh Pertanian (BPP) dan Dinas terkait.
“Masalahnya, pupuk jenis urea yang seharusnya dibutuhkan sejak November baru tersedia setelah Januari, sesuai aturan MT1. Padahal, bila pupuk ditabur lebih dari 40 hari setelah tanam, hasil panen jelas menurun,” jelasnya.
Menurut Abah Usman, keterlambatan tersebut terjadi karena proses birokrasi yang panjang, mulai dari penerbitan Surat Keputusan (SK) alokasi pupuk oleh kepala daerah hingga distribusi ke kios resmi. Ia juga menilai kurangnya sosialisasi menyebabkan petani tidak siap menghadapi perubahan kebijakan pupuk.
“Tingginya permintaan saat musim tanam menyebabkan antrean panjang dan keterlambatan penyaluran. Pemerintah daerah perlu menyederhanakan regulasi, mempercepat penetapan kuota pupuk, dan memperketat pengawasan agar pupuk sampai tepat waktu ke tangan petani,” pungkasnya. [Johan]










